Powered By Blogger

Kamis, 16 Agustus 2012

SURKENTI – The Tetralogy (part 3)



Diiringi bayangan Kent yang melayang di chepalothorax ku, Aku sudah berdandan rapi pagi ini, antenaku sudah ku rebonding, seluruh badanku sudah wangi dan bersih karena sudah kulumuri kotoran cacing. Mungkin kalian manusia akan merasa jijik, tapi esensi wangi dari sudut pandang manusia dan semut sangatlah berbeda. Kalian akan merasakan bau wangi saat kalian menghisap bau bunga atau buah2an. Tetapi bagi bangsa semut, tai cacing merupakan wewangian andalan yang sudah ada turun temurun sejak zaman moyang kami masih menggunakan bahasa ant’cient sehari hari. Baunya sangat khas dan bagi kami, mencium bau tai cacing membuat kami sangat relax. Kalian manusia pasti penasaran dan tidak percaya, silahkan dicoba kalau tidak percaya :D hahaha. Maka, dengan langkah yang mantap aku beranjak menuju pohon Jimmy Hendrix ditemani Pedro yang kusuruh membawakan spanduk bertuliskan “AKU TRESNO SURKENTI”. Yah, aku menulisnya dengan bahasa ant’cient karena selain kasar, bahasa ini juga mengandung makna to-the-point dan menurutku itu sangat freakly romantic. Sampai di pohon Jimmy Hendrix aku berdiri di depan pintu dan menyuruh Pedro untuk sembunyi dulu. Dengan dada yang sesak, jantung berdegup kencang, keringat dingin bercampur tai cacing di tubuh, dan kaki yang bergetar, kupanggil namanya sambil memberi tanda kepada Pedro untuk membentang spanduk bertuliskan “AKU TRESNO SURKENTI” setelah Kent keluar dari pohon nantinya. Pedro sudah terbang dan membentangkan spanduk dibelakangku, aku siap2 berteriak. . .
                “Surkenti, aku . . . aku . . .”
(mendadak aku bingung mau bilang apa. serius!! Jujur, si penulis juga lagi bingung tuh mo nulis apa, hahaha! maklum die bego kalo soal beginian. Gak pengalaman! Hahahah) akhirnya aku merujuk pada filosofi bahasa ant’cient yang to-the-point dan sangat freakly romantic tapi kali ini lebih cocok disebut panic romantic. Tanpa basa basi aku berteriak:
                “SURKENTI AKU TRESNO DAPURMU!!!”
Gubraaakk!! Di belakangku Pedro jatuh karena sayapnya gak kuat dengar ucapanku tadi. Uuppss.. Bodoh banget sih aku.. itu kan kasar banget! Bego, bego, bego!! Aduh Piye ki? Semoga dia gak dengar. Setelah beberapa saat aku menunggu sambil panik menggigit2 batu, aku menyadari bahwa tidak ada respon dari Kent. Bahkan suaranya pun tak terdengar sama sekali dari dalam. Perasaanku pun mulai tak enak, Aku berinisiatif naik ke pohon dan mencarinya di ikuti Pedro di belakangku. Dimana Surkenti?? Pohonnya sepi sekali seperti pasar malam di lapangan stasiun tahun lalu (hah?). Saat aku naik ke dahan teratas di sebuah dahan kecil aku melihat bungkusan kentut berwarna coklat menggantung. Aku masih belum percaya apa yang kulihat dan tiba tiba Pedro mengagetkanku dari belakang.
“Ooalaaaah, ternyata dia sedang ‘ngenthung’ Ant’. Dia sedang bermetamorfosis menjadi kepompong, lalu nantinya dia akan menjadi kupu-kupu yang cantik. Hahaha,, sial bener nasibmu Ant’, hahahha.”
“ini berarti dia gak dengar kata2ku tadi ya Dro? Hahahah. selameet!!”
                “iyo Ant’ beruntung kamu.”
“eh? bukannya kamu tadi bilang sial ya? Sekarang bilang beruntung? Wuuuooo lha gak ababil! Tapi gak apa2 nanti setelah selesai ngenthung Surkenti akan menjadi kupu-kupu dewasa yang cantik. Hihihi.. asik-asik! Eh dro, kira2 berapa lama ya dia ngenthung kayak gini?”
Pedro tidak menjawab pertanyaanku, dia tertegun memandang kepompong Surkenti, sejenak dia terlihat gelisah dan matanya menerawang jauh kembali ke arah sarang kami seolah dia baru menyadari sesuatu. Dan dari raut mukanya, mungkin ini Sesuatu yang buruk.
                “Dro, ada apa? Jangan bikin aku takut lah.”
“bodoh! Kenapa aku baru sadar!? Waktu kita tinggal seminggu lagi Ant’. Ayo kita segera pulang kita beritahukan hal ini kepada koloni kita!”
“Waktu kita? koloni? Kau bicara apa sih?”
“nanti saja kujelaskan!”
Tanpa menjawab pertanyaanku pedro segera membawaku ngebut terbang kembali ke sarang kami. Sampai di sarang Pedro langsung berdiskusi dengan para petinggi koloni lebah dan segera setelah itu para petinggi koloni lebah mengadakan rapat tertutup dengan ratu semut. Rasa penasaranku memuncak seperti air raksa yang mendidih. Ada apa ini? Kenapa para petinggi itu panic sekali? Apa ada hubungannya dengan Surkenti? Apa yang salah dengan ulat kecil tembem berwarna hijau nan lucu yang sekarang sedang bermetamorfosis? Akhirnya air raksa dalam benakku pun meluap karena memuai, aku berlari menghampiri Pedro yang tampak gelisah.
“Dro. (sebenarnya pengen buat pantun lagi, tapi sepertinya situasinya gak tepat, hehehe!) ada apa ini Dro?”
“Ant’ maafkan aku, aku telah salah membiarkanmu mencintai Surkenti, aku lupa kalau dia itu nantinya akan menjadi seekor kupu-kupu”
“terus apa yang salah dengan kupu-kupu?”
“tahukah kamu, bangsa penghasil madu seperti kita ini sudah lama bermusuhan dengan bangsa kupu-kupu, belalang tempur dan kumbang. Di musim kemarau seperti ini Mereka mengincar madu kita karena bunga dan tanaman penghasil madu yang biasa mereka konsumsi mati karena kemarau.”
Akhirnya Pedro menceritakan semuanya padaku, waktu itu aku masih bayi, jadi belum tau apa2 tentang sejarah pertikaian antara serangga penghasil madu dan para serangga lainnya. Cerita dimulai jauh sekali sebelum masa ini. Sebenarnya, dahulu kala kami hidup berdampingan dengan harmonis dan sejahtera. Kami hidup dengan anugerah Tuhan yang paling indah dan bermakna yakni kekayaan alam yang melimpah. Namun pada suatu masa, alam kami yang begitu asri dan alami rusak karena manusia yang mulai menebangi pohon-pohon di hutan ini. musim dan cuaca menjadi tidak menentu, entah apa yang terjadi, mereka bilang ini efek “Global Warming”. musim kemarau menjadi sangat panjang dan kering persis seperti saat ini. Menurut kami, hal ini sebenarnya terjadi karena kesalahan manusia yang serakah, Mereka tidak berpikir apa yang akan terjadi dan siapa yang dirugikan atas perbuatan mereka. mereka hanya mementingkan keuntungan bagi mereka sendiri. Dan kini semuanya berubah menjadi bencana, para binatang bingung harus bersembunyi dimana. Asal kalian tahu, sudah banyak spesies-spesies binatang yang tidak bisa bertahan hidup sekarang sudah punah. Mereka kesulitan mencari makan dan tempat berlindung. para serangga pun juga seperti itu, seperti yang sedang kualami saat ini, kami sangat kesulitan mencari makanan.  Mungkin bagi kami para serangga penghasil madu, hal ini tidak terlalu menyulitkan karena kami mempunyai madu sebagai cadangan makanan kami. Tetapi bagi serangga lain kemarau panjang sangatlah berat dan menyengsarakan. Mereka tidak bisa makan karena bunga2 dan tanaman2 layu karena kekurangan air. Akhirnya para serangga itu mulai menyerang bangsa semut dan lebah untuk mendapatkan madu kami. Sungguh ironis, kami dipaksa memerangi saudara sesama Arthropoda, dan semuanya itu karena ulah manusia. Seperti itulah sudut pandang kami terhadap manusia yang mengira diri mereka paling sempurna. Maka jangan heran kalau suatu saat kalian melihat ada semut, lebah atau serangga lain yang tiba-tiba menggigit atau menyengat kalian. Itu semua hanya balasan kecil atas apa yang telah kalian perbuat pada kami. 


Bagaimana nasib cintaku terhadap Surkenti? Bagaimana kelangsungan hidup koloni kami dan keluarga insecta selanjutnya?

Temukan di SURKENTI – tetralogy (part 4 – closing stages)

4 komentar:

  1. sik to, lebaran prei sik.. mudik.. hahahahah

    BalasHapus
  2. bosok, kapan rampunge critane ki???? ketoke kae trilogy deh??? kok dadi tetralogy?

    BalasHapus
  3. bossoookk.. kowe ki tinggal moco we ribut wae.. kene sing nulis utekke meh kobong kentekkan inspirasi... kuanggap saja Bualan Belaka.. hahahah

    nek tak jadikan 1 part terakhir kepanjangan maki, nanti pembaca jadi bosan kalau kepanjangan.

    BalasHapus