Powered By Blogger

Rabu, 02 Oktober 2013

surat tilang slip biru malah bikin jadi ribet


Kamu pasti pernah ketilang sama polisi kan di jalan? Kalau belum, ya bagus deh, jangan sampai ketilang, serius! Sumpah!  Banyak yang bilang kalau  misalnya kamu diberhentikan dan kena tilang polisi di jalan, minta aja slip biru. Slip biru artinya mengakui kesalahan kamu dan bersedia membayar denda di bank bri. Tapi, apa benar prakteknya akan semudah itu? Nah, ini nih pengalamanku waktu kena tilang dan meminta slip biru serta prosedur pembayarannya.

Waktu itu di pertengahan september aku kena tilang di daerah banyumanik semarang. Aku sama temenku yang nebeng waktu itu mau ikut tes buat masuk sebuah perusahaan di daerah semarang. Kita jalannya santai aja, gak kenceng dan selalu berusaha mematuhi setiap rambu lalu lintas. Sial neraka bener singkat cerita udah ada polisi nangkring di atas motor yang nungguin di pinggir jalan di depanku, merasa gak bersalah, aku ngeloyor aja dengan tampang yang aku imut imutin. Ternyata aku dikejar sama satu polisi berperut gendut dan diberhentikan. Wah bingung donk aku, wong aku merasa gak ngelakuin salah apa apa. Pak polisi gendut itu entah kenapa nuduh aku ngelanggar lampu merah sambil marah marah dan maki maki gitu dengan tampang sok diserem seremin. Jujur dan sadar banget nih, waktu itu aku gak merasa ngelanggar lampu merah. Kalo gak percaya, tanya aja sama temenku yang tak boncengin. Setelah itu surat surat diminta dan kita digiring ke pos polisi. 

Di dalam pos polisi aku merasa di intimidasi banget ada dua polisi gendut yang ngomongnya pake marah marah bernada tinggi. Aku pun dengan sok tenang bilang "santai aja to pak, gak usah marah marah, saya juga ngomongnya baik baik kok." setelah aku ngomong gitu, baru si pak polisi berdua itu agak sedikit ramah, tapi tetep nyebelin sih tampangnya. Kayaknya itu memang cara oknum polisi itu supaya kita merasa bersalah. Nah di pos polisi itu aku terpaksa memutuskan untuk mengakui kesalahan yang sebenarnya tidak saya lakukan dan meminta surat tilang slip biru. Pak polisi itu agak gak setuju dan menakut nakuti kalau pake slip biru nanti harus bayar sebesar denda maksimal rp 500.000. “atau kalau pengen gak ribet kamu bisa ‘sidang ditempat’, nanti kamu kasih saya berapa terus saya lepasin.” Kata pak polisi satunya.

Pak polisi itu pun menekan saya supaya mau bayar di tempat, supaya gak ribet katanya. Tapi saya bersikeras, “wah gak mau saya pak, mending uang saya buat bayar negara aja. Gak apa apa 500.000 juga.” Setelah itu STNK saya di tahan dan pak polisi sama sekali gak menjelaskan prosedur pembayarannya. Karena saya buru buru mau tes, saya langsung tancap gas lagi.

Beberapa hari setelahnya, setelah uang saya sudah terkumpul 500.000 hasil dari gak pernah jajan, saya pergi ke random BRI, nah bank BRI yang saya datangi ternyata gak bisa melayani tilang dan mbaknya bersikeras gak bisa ngelayani nafsu saya untuk membayar tilang. Dan mbaknya malah nyeletuk dengan judes “nyusah nyusahin aja sih mas, bayar tilang gini tu ribet, mendingan bayar di tempat mas sama polisinya”. Hhmmm, parah juga ternyata mental penghuni bangsa ini, mental penyogok.

Akhirnya saya menuju ke BRI Pattimura di daerah Johar yang katanya satu satunya BRI yang bisa ngurus tilang di seluruh Semarang. Di bank itu memang saya dilayani, dan disuruh membayar 500.00 sesuai denda maksimum. Setelah itu saya dikasih slip pembayaran dan harus difotocopi untuk di bawa ke polrestabes Semarang untuk mengambil STNK dan copy an satunya dibawa ke pengadilan setelah hari persidangan. Di pengadilan ini nantinya saya akan mendapat putusan tentang berapa saya harus membayar denda. Dan setelah itu bisa ke BRI lagi untuk mengambil sisa uang 500.000 yg saya setor tadi. Lah? Kok emang beneran ribet yah kayaknya, bikin aturan kok kayaknya prosedurnya njelimet banget. kalau sudah mengaku bersalah dengan meminta surat tilang biru, kenapa saya masih disuruh ke pengadilan lagi? Begitu yang ada di benak saya, tapi saya agak sedikit adem, karena teller di BRI Patimura ini ramah ramah, dan saya dapat bonus permen. J

Dari BRI saya langsung meluncur ke polrestabes Semarang. Tapi disana lagi lagi saya ditolak, kali ini sama pak polisi. Ternyata untuk mengambil STNK bukan di polrestabes tetapi di polsek semarang barat. Walaah lha piye to iki? Kok aku kayak diombang ambingkan di lautan  ketidakpastian. Pak polisi di polrestabes juga agak heran dan ngetawain keputusanku untuk membayar di BRI. “lha kok pake bayar di BRI segala to mas? Bukannya malah ribet to mas? Mending siding di tempat mas. Bayar ke polisi langsung di jalan. Langsung beres” “memang itu legal ya pak? Bayar di jalan terus lolos dari hokum?” takut bapak polisinya marah dia langsung tak tinggalkan dalam kebingungan mau jawab apa. Akhirnya saya ke polsek semarang barat dan mendapatkan kembali STNK saya. Satu lagi oknum yang menyarankan bayar di tempat. Ckckckck! Oke berarti tinggal 1 lagi misiku: mengambil sisa uang denda di BRI setelah dari pengadilan.

Setelah sekitar seminggu menunggu tanggal sidang, saya pergi ke pengadilan negeri untuk mengambil surat putusan jumlah denda yang harus saya bayar. Di tempat parkir saya langsung disergap para calo yang sangat bernafsu banget ingin melayani saya. Tapi saya memilih menuntaskan sendiri masalah saya ini, sekalian pengen ngerasain segala prosedur peraturan yang telah dibuat Negara tercinta ini. (aslinya aku gak punya cukup duit buat bayar calo sih, org duitnya masih di BRI semua 500.000 hehehheh!) saya bertanya ke seorang pegawai pengadilan “mas, kalau mau ambil putusan dimana ya? Saya sudah setor di BRI.” Mas pegawai itu sengak banget jawab “halah mas, ribet banget pake bayar di BRI segala, mending bayar langsung di jalan mas, langsung beres.” “maaf mas, saya tanya dimana saya bisa urus putusan tilang ini. Kalo masalah ribet biar saya yang pikirin, gak usah repot”. Ternyata tambah 1 lagi yang menyarankan bayar di tempat. Walaaaahh apa aku yang aneh dan salah ya kalau ingin menaati hukum yang berlaku? Bingung aku!

Setelah ditunjukin mas mas sengak tadi  saya langsung menuju ke ruang pidana. Aku agak lega, aku kira setelah ini akan beres dan bisa ngambil uang di BRI. Tapi…. Ternyata belum, di ruang pidana aku disuruh memfotokopi surat putusan itu lalu dibawa lagi kesitu. Huh, padahal aku gak tau dimana ada tukang fotokopi. Singkat cerita aku sudah kembali ke ruang pidana dengan 2 lembar kerta fotokopian. Wah ini pasti sudah selesai, batinku. “mas, setelah ini fotocopy an ini dibawa ke kejaksaan negeri ya untuk meminta kuitansi bukti denda putusan sidang.” Whaaaattt???!! Masih ada lagi??? Jujur aku gak tau dimana letak kejaksaan negeri itu. Akhirnya aku keluar ruangan dengan muka kusut. Dan mas mas yang sengak tadi ngetawain aku dengan senyum kemenangannya. “gimana mas? Ribet kan? Udah dibilangin mending bayar di tempat kok.” Aku mengalihkan pembicaraan “mas, kejaksaan negeri di mana ya?” dengan masih senyum nyebelin ma situ jawab “Itu mas di depan museum jawa tengah bunderan kali banteng. Besok lagi kalau ditilang bayar langsung aja mas” ini petugas Negara macam apa sih? Kok malah nyaranin cara yang illegal. “gak mas, besok lagi gak mau aku urusan sama polisi lalu lintas. Aku mau naik angkutan umum aja” aku jawab sekenanya. Setelah itu aku ke kejaksaan, dapat kuitansi denda sebesar 49.000 dan tanpa masalah trus langsung menuju BRI untuk mengklaim sisa uang yang tak titipin. Oh ya, di BRI aku harus beli materai 6000 untuk prosedur ngambil uang sisa. Dan uangku berhasil kembali 450.000.

Dari peristiwa di atas bisa saya simpulkan bahwa:

·        Oknum polisi jalan berlagak galak dan menekan anda supaya anda merasa bersalah

·        Beberapa  pegawai pemerintah banyak yang menyarankan untuk menyogok. Mungkin sudah terbiasa sehari hari kayak gitu.

·        Prosedur slip tilang biru lebih ribet dari slip merah (Cuma sidang, denda trus pulang) padahal slip biru artinya = mengakui kesalahan dan bersedia membayar denda, slip merah artinya = tidak mengakui kesalahan dan bersedia disidang.

Yak, sampai disini dulu cerita dan curhat saya bro, maaf kalau ada yang tersinggung, saya menulis ini berdasarkan cerita yang sebenarnya, tidak ditambahi tambahi atau dikurang kurangi. Wassalam!

 

 

Rabu, 24 April 2013

My view toward Teacher, Teaching and Education

          “Teacher”, what comes to your mind when you hear the word “Teacher”? Some people will say that teacher is someone who teaches some students in a classroom. Some might say that teacher is someone that is so smart so that s/he is teaching the others. Or some people say that teacher is a hero without any service medal. Those statements are no wrong, but I have my own definition about teacher. For me “teacher is the front-liner of educational conflicts”, sounds ferocious, isn’t it? Why I said that teacher is the front-liner of educational conflict? There are two reasons that underlying my statement above. I said conflict because education has conflict inside it, especially in Indonesia. The first conflict is in the department and ministry of education itself. As you hear in every channel of news, Indonesian education is now very chaotic, for example: The decreasing of quality in National Examination, the late delivery of National Examination question and answer sheet, curriculum that always changes, corruptions of BOS money, until the idea of omitting English from elementary school. There are so many chaos and conflicts and teacher is the front-liner of it. The second conflict is more general, it is the conflict between the students and the lesson they learn.
            In this post I will focus more on the second conflict which is the conflict between the students and the lesson they learn. As I said in my introduction, I view that teacher is the front-liner of educational conflicts. So as the front liner, teacher should mediate the conflict between students and the lesson they learn. Teaching is not merely about giving a stand in front of the class, speak loudly, delivering the material on the book, and punish everyone who messes up in the class. it is not what teacher should be, so I come up with my second own philosophy which is “teaching is mediating the conflict between the students and the lesson they learn”. What does it mean by that? In my opinion, there is a gap between students and the lesson. And that's the teacher duty as the front-liner of educational system to connect the gap between the students and the lesson.  I know that teaching is not as simple as I thought before. I used to think that teaching is standing in front of the class, asking question, discussing some materials or delivering the materials, but after I got the real experience in teaching real students I realize that teaching is carrying the bigger responsibility to mediate the gap between the students and the lesson. There are so many way in mediating the students and the lesson. It can be by using game, using song, video, AVAs to make our teaching more interesting. It needs teacher creativity or else the students will not be connected to the lesson and the teacher will fail to mediate them both. So what is your opinion? Is it hard to be a teacher? Not only a teacher, but the front-liner of educational system. If I may say being a teacher is difficult and carrying so many responsibilities to the country and also to the students. So if someone out there said that “teacher is a hero without any service medal”, that’s very true!

AKU vs BUKU

Menurutmu apa itu buku? Saya sering dengar dari teman2 kalau buku itu adalah jendela dunia. Ada juga yang mengatakan kalau buku adalah sumber inspirasi dan ilmu. Semua itu benar, memang begitulah buku, saya tidak bisa mendebat lagi. Sialnya, saya dari kecil jarang baca buku. Sekalinya punya buku, itu semua buku paket pelajaran2 dan buku lks yang isinya gak menarik dan malah sering bikin pusing dan mules bahkan mencret hahhahhaha. Buku2 yg ada di perpustakaan SD pun buluk2 dan kadang sudah terlepas dari jilid-annya dan berserakan kemana2. Jadi illfil dan tambah males deh pedekate sama buku. Mulai dari itulah sudut pandangku terhadap buku mulai skeptical. Memang dari kecil orang tuaku juga jarang beli buku, selain mungkin menurut mereka itu bukan kebutuhan primer dan jarang banget ada toko buku di dekat rumahku, mungkin juga karena minat baca orang tuaku dulu belum hebat, mereka masih terlalu sibuk bekerja sebagai pasangan muda yg baru berumah tangga dan punya anak super imut kayak aku heheheh (pose chibi2). Jadi ya begitulah, masa kecilku luput dari perhatian dan peran buku2 yg katanya jendela dunia.  Mulai masuk SMP aku mulai dekat dengan buku, sialnya lagi buku yg deket sama aku waktu itu kurang berkualitas. Cuma buku2 komik jepang yg aku pinjem dari persewaan buku deket sekolah macam dragon ball, doraemon, kobo chan, sinchan dan bahkan sempat salah pinjem komik goldenboy (ups, wakakakakka). Yah begitulah, fase hidupku ini sudah berhasil mengenalkan aku sama buku yang kurang berkualitas dan satu buku ‘jorok’, tapi it’s OK at least aku udah kenal dulu sama buku.  Masuk SMA aku masih gak pernah beli buku kecuali buku2 paket erlangga, yudhistira dan buku2 LKS yang kadang malah jadi lahan bisnis sampingan para guru. aku dapat asupan nutrisi buku dari pinjeman sepupuku yang mengkoleksi buku lupus (lagi2 buku ringan). Disaat anak2 normal seumuranku mulai baca buku2 berkualitas karya penulis2 keren yang aku gak apal nama2 mereka karena kebanyakan kayak nama2 alien dari planet ‘saiya’. (dragonball logic. Hihihihi. maklum, jarang baca buku berkualitas), aku masih baca lupus dan seneng banget waktu itu karena ceritanya lucu dan banyak tokoh2 yg aneh disitu, cocok bgt sama aku yg kebetulan punya muka yang aneh juga. Mulai dari situ aku mulai suka baca lupus yang kupinjam 2 buku setiap minggu dari sepupu ku itu (bahkan ada beberapa buku lupus yg lupa belum kukembaliin sampai sekarang, hahahaha). Yah, pathetic memang hidupku di masa muda, masa kini juga dink. Masa sekarang juga masih jarang beli buku, buat jajan aja susah! (makanku banyak soalnya) tapi kalo sekarang banyak teman yg suka buku2 berkualitas, jadi aku bisa pinjem deh. Pinjem sana pinjem sini dapat ilmu dan inspirasi. Kadang juga dapat tamparan di pipi karena buku2 mereka sering jadi kusut karena aku bacanya sambil tiduran di rak piring. (hahahaha, salah satu guyonan lupus yg masih kuingat sampai sekarang). Bahkan karena kubaca sambil tidur, kadang buku2 mereka sering kena cairan bening kental yang berbau tajam, iler. (moga2 mereka gak baca posting ini, kalaupun baca, sorry teman2 baru berani bilang sekarang kalo buku kalian sering kena iler. Aku takut ditampar pipi lagi. Peace!(hahahah)
Aku suka buku? Iya! Aku seneng baca buku? Iya! Suka beli buku? I..iy…. enggak! Hahahaha.. Tapi entah kenapa, buku2 buat thesisku kok tidak semenarik buku2 yang kupinjem dari teman ya? Mungkin aku memang suka membaca, but reading for pleasure. Reading academically? Hmmmm?? Mungkin belum dapat panggilan hati. Intinya adalah, buku itu sumber inspirasi dan kebijakan pola berfikir manusia. Jadi, selagi muda adik adikku bacalah buku! Jangan tiru aku, karena itu hanya dikerjakan oleh para professional yg terlatih!!!

Kamis, 18 April 2013

morning glory

darkness,
that's all what I see
consciousness,
that's what I seek to be
is it a delusion or I have woken up from my reverie
this fraction of verve been haunting elongatedly
suffering sore as pale as hell, drowned utterly in a vicious agony
the sense of repeated misery come in me at your discretion like a mystery
force me to walk my ass off my delicateness numerously to the place I shouldn’t be
is it what is called divine decree?
I myself name it the excrement of  liquidity
mother hell as morning glory