Powered By Blogger

Kamis, 18 Juli 2019

Refleksi diri

Selalu, disaat mata belum memejam, kuteringat semua hal yang terjadi sepanjang hari ini.
Jarang, akhir akhir ini aku mengingat hal hal bahagia, karena memang aku tidak.
Sering, yang kuingat adalah hal hal buruk yang yang terjadi, bahkan yang aku lakukan sendiri.
Kadang, kepada rekan kerja, atasan, bahkan Tuhan.

Pernah, suatu hari sebelum jam kerja usai, ku tak sengaja menginjak lantai yang barusan di pel oleh petugas, aku tersenyum bermaksud maaf tersungging, namun sang petugas menjatuhkan tongkat pel kecewa, dan berlalu. aku sadar, aku salah, aku selalu sadar betapa berat harinya membersihkan lantai yg sebentar di pel sebentar kotor diinjak konsumen, tiap hari bergumul dengan sampah yg bukan miliknya. Betapa berat hari harinya dituntut area tanggung jawabnya selalu sempurna, namun yang didapat tak setara. Betapa ia memikirkan keluarganya makan apa esok lusa. Maka bisa kutahan amarahku untuk membalas bantingan tongkat pelnya. Kudatangi ia, menjabat tangannya dan meminta maaf hingga ia balik menyunggingkan senyumnya. Aku pun lega.

Beberapa kali, ku tak sepemahaman dengan atasan, karna kuanggap mereka hanya memerintah, sembari menikmati hasil jerih payah bawahannya yang tiap hari mengecek tanggal habis kontrak. Setiap kebijakan yang berpotensi merugikan kaumku, kutebas habis, kadang dengan sikap garang dan sok membela yang lemah kumelawan. Namun aku sering menyesal seperti malam ini, karena terkadang ku kelewat batas dan cenderung menyakiti hati. Ia atasanku juga hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh atasannya lagi. Besok pasti suasana sudah seperti biasa lagi karena sisi baik atasanku ini memang tidak mendendam, setidaknya begitu yang ia perlihatkan. Namun hatiku sendirilah yang terkoyak, dengan penyesalan atas kelakuanku yang terkadang arogan dan mau menang sendiri. Saat di kantor, aku ingin terlihat sangar, garang, idealis dan pejuang, namun saat malam seperti ini, di kamar kos sunyi ini, aku hanyalah bocah kecil yang bertanya tanya, apakah aku orang baik? Apakah aku jahat? Apakah aku sudah menjadi manusia? Labil, Mungkin label itu cocok disematkan di diriku. Aku lemah saat sendiri, aku tak yakin, aku insecure. Keinsecure-an ku ini mungkin yang membuat aku merasa harus terlihat kuat di lingkungan pekerjaan. Sok kuat diluar padahal lembek dan rapuh didalamnya. Dasar aku.

Suatu kali, bahkan aku sangat arogan kepada Tuhan, aku mempertanyakan, apakah hidup ini adil ya Tuhan? Lihat saja adik kecil di tepi jalan itu, usia sekitar tiga, menjajakan koran untuk bisa bertahan hidup sehari lagi dimuka bumi. Lalu lihat di dalam mobil Alphard yg berhenti tepat didepannya, ada bocah usia lima yang mendapatkan segala apa yang dimintanya bahkan yang tak ia minta. Bersama sopir pribadi dan pengasuhnya, iapun bahagia karena ditemani pula oleh ayah ibunya yang sangat menyayanginya, bahagia dan sempurna. Sedang anak jalanan berusia tiga, kita tak tahu apa ibunya masih ada atau ia sebatang kara. Nasib manusia tidak bisa dipilah pilih, aku yang karyawan biasa mana bisa mengubah nasib anak yang kulihat ditepi jalan itu. Paling cuma bisa beli korannya dua.  

Tuhan, maafkan aku yang sering marah dan protes melihat ketidak adilan, bahkan aku lancang memprotesmu. Namun Aku tau pasti, bahwa kebijaksanaanMu melebihi akalku. Maka untuk membenahi diriku sendiri, kuanggap semua kejadian yang kualami seharian ini adalah caraMu berkomunikasi dengan ciptaanMu, supaya aku melihat, supaya aku memahami, supaya aku sadar bahwa ketidak adilan akan selalu ada, Namun dibalik itu semua, carilah kesempatan untuk mengakui kekurangan diri, mengambil pelajaran, mengevaluasi dan berbuat yang lebih benar dikemudian hari. Karena manusia harus terlebih dahulu adil kepada diri sendiri. 


WIAN ANGGONO
18 Juli 2019